Pengemukan Sapi PFH - Peranakan Friesian Holstein
"Pengaruh Imbangan Hijauan Dengan Konsentrat Berbahan Baku Limbah Pengolahan Hasil Pertanian Dalam Ransum Terhadap Penampilan Sapi PFH Jantan" oleh Agus Wijaya, H 0502033. FAKULTAS PERTANIAN , UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA 2008.
ABSTRAK : Pengemukan Sapi PFH - Peranakan Friesian Holstein
Keberhasilan usaha penggemukan sapi potong dapat dicapai melalui manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharaan tersebut meliputi manajemen pakan, perkandangan, reproduksi maupun kesehatan. Pakan merupakan salah satu factor penting dalam usaha peternakan sapi. Dengan kebutuhan pakan yang tercukupi sapi tersebut akan mengalami pertumbuhan optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui imbangan hijauan dengan konsentrat yang komponennya berasal dari limbah industri pengolahan hasil-hasil pertanian dalam ransum penggemukan sapi potong. Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang milik Perusahaan Peternakan Sapi Perah “Murni” yang berlokasi di Jebres, Surakarta dan memerlukan waktu selama 6 bulan. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sapi PFH jantan dengan berat rata-rata yaitu 394,67± 43,29 kg sebanyak 12 ekor. Ternak sapi dibagi menjadi empat perlakuan dan tiga ulangan, yaitu satu ekor tiap ulangan. Pakan yang diberikan adalah hijauan (rumput Raja) dan konsentrat dengan komposisi dedak padi 40%, onggok 25%, bungkil kelapa 20%, tongkol jagung 7%, ampas tahu 5%, ampas tempe 2% dan vitanin mix 1%. Adapun perlakuannya sebagai berikut P0 (100% rumput Raja), P1 (70% rumput Raja; 30% konsentrat), P2 (40% rumput Raja; 60% konsentrat) dan P3 (10% rumpur Raja; 90% konsentrat). Peubah penelitian ini adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian, konversi pakan dan feed cost per gain. Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata dari keempat perlakuan yaitu P0, P1, P2, P3 secara berturut-turut untuk konsumsi pakan yaitu 9,66 ; 10,67 ; 12,54 ; 10,24 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian yaitu 0,80 ; 1,09 ; 1,30 ; 0,73 kg/ekor/hari. Konversi pakan yaitu 16,08 ; 12,11 ; 11,13 ; 16,20. Feed cost per gain yaitu Rp 8.789,92 ; Rp 8.429,89 ; Rp 9.407,37 ; Rp 16.119,72. Kesimpulan dari penelitian ini adalah imbangan hijauan dengan konsentrat berbahan baku limbah pengolahan hasil pertanian menunjukkan pengaruh yang sama terhadap penampilan sapi PFH jantan danpakan yang paling murah dan efisien pada imbangan hijauan 70 % dan konsentrat 30 %.
Kata kunci : sapi PFH jantan, performan, konsentrat, ransum
Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan, kebutuhan daging masyarakat juga semakin meningkat. Sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang potensial, memiliki nilai gizi tinggi dan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Berbagai jenis sapi potong yang dapat digunakan sebagai bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong diantaranya adalah sapi Limousin, Simmental, Brangus, Ongole, Brahman, Bali, peranakan Friesian Holstein (PFH) jantan dan lain sebagainya.
Keberhasilan usaha penggemukan ternak sapi potong dapat dicapai melalui manajemen pemeliharaan yang baik. Manajemen pemeliharaan tersebut meliputi manajemen pakan, perkandangan, reproduksi , maupun kesehatan.
Pakan merupakan faktor yang sangat penting di dalam usaha penggemukan sapi potong, karena tanpa memperhatikan faktor ini usaha penggemukan sapi potong tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan. Sapi potong, seperti halnya ternak ruminansia lainnya seperti kerbau, kambing, dan domba, pakan utamanya adalah hijauan.
Namun untuk dapat berproduksi yang optimal sulit bagi sapi-sapi di daerah tropis seperti Indonesia ini, jika pakannya hanya mengandalkan hijauan saja, karena hijauan pakan khususnya rumput-rumputan di daerah tropis rendah kualitasnya (low quality). Oleh karena itu diperlukan lagi pakan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan nutriennya.
Penggemukan sapi potong akan berhasil apabila tercukupi kebutuhan nutriennya terutama energinya. Pakan berenergi tinggi hanya dapat dicapai apabila komponen dalam ransumnya sebagian besar adalah konsentrat. Perbandingan antara konsentrat dengan hijauan atas dasar bahan kering sebesar antara 70 : 30 sampai 85 : 15 persen (Gunawan dan Musofie, 1988).
Pemberian konsentrat atau pakan berenergi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan, produksi daging, dan berat karkas (Soeparno and Davies, 1997). Namun demikian penggunaan konsentrat dalam jumlah yang tinggi dalam ransum sapi potong perlu diperhatikan dengan seksama, karena disamping menentukan tinggi rendahnya produksi, juga menentukan besar kecilnya biaya produksi, dan keuntungan usaha.
Seperti diketahui didalam usaha penggemukan sapi potong 70-80 persen biaya produksi adalah biaya pakan. Oleh karena itu untuk mendapatkan keuntungan usaha yang maksimal, diperlukan upaya menekan biaya pakan serendah mungkin, tetapi tanpa harus mempengaruhi tingkat produksi yang dihasilkannya.
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan jalan memanfaatkan bahan-bahan pakan yang belum/kurang lazim digunakan (inkonvensional) yang berasal dari limbah pertanian, limbah industri pengolahan hasil-hasil pertanian maupun industri lainnya.
Upaya lain yang biasa dilakukan untuk menekan biaya pakan adalah dengan jalan mengarahkan pada penggunaan bahan pakan yang sedikit atau bahkan tidak berkompetisi penggunaanya dengan peternak (manusia)-nya, ternak lain seperti ternak non ruminansia dan unggas. Seperti diketahui bahwa salah satu penyebab tingginya harga bahan pakan khususnya konsentrat adalah adanya kompetisi dalam penggunaanya/pemanfaatanya.
Perkembangan industri pengolahan hasil-hasil pertanian dan industri lainnya cukup pesat. Selain berdampak pada bidang sosial ekonomi, pesatnya industri ini berpotensi menimbulkan masalah lingkungan hidup yakni menimbulkan pencemaran baik air, tanah maupun udara.
Pemanfaatan limbah industri untuk mendukung usaha peternakan, selain dapat menekan masalah pencemaran lingkungan, juga dapat memberikan keuntungan. Keuntungan tersebut dapat berupa penghematan dan peningkatan devisa serta perluasan kesempatan kerja/berusaha melalui kepemilikan ternak. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji penggunaan limbah industri pengolahan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku konsentrat dalam ransum penggemukan sapi potong.
Rumusan Masalah
Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha peternakan sapi. Dengan kebutuhan pakan yang tercukupi sapi tersebut akan mengalami pertumbuhan optimal. Usaha penggemukan sapi potong tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan pakan hijauan sebagai pakan utamanya. Untuk mencapai produksi yang maksimal maka diperlukan pakan konsentrat untuk melengkapi nutrien yang disediakan hijauan.
Penggunaan pakan konsentrat dalam jumlah tinggi perlu diperhatikan, karena menentukan besar kecilnya biaya produksi sekaligus besar kecilnya keuntungan. Karena secara umum harga konsentrat lebih mahal daripada hijauan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya mencari bahan pakan penyusun konsentrat yang harganya murah, mudah didapat (tersedia melimpah), dan atau sedikit berkompetisi penggunaannya dengan ternak lain.
Industri pengolahan hasil pertanian berpotensi menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan hidup apabila tidak ditangani dengan baik misalnya onggok yang merupakan limbah industri pengolahan tepung tapioka, ampas tahu dan tempe merupakan limbah pengolahan tahu dan tempe yang berbahan baku dari kedelai. Beberapa limbah industri pengolahan hasil pertanian masih memiliki kandungan nutrien yang masih dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia khususnya sapi.
Perlu dikaji potensi beberapa limbah industri pengolahan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku konsentrat dalam usaha penggemukan sapi PFH jantan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui imbangan hijauan dengan konsentrat berbahan baku limbah pengolahan hasil-hasil pertanian dalam ransum terhadap penampilan sapi PFH jantan.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)
Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan persilangan antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi lokal Indonesia (Pane, 1993). Selanjutnya dikatakan oleh Siregar (1995), sejak tersebarnya sapi FH di beberapa daerah di Indonesia khususnya pulau Jawa, telah terjadi perkawinan yang terencana antara sapi FH dengan sapi setempat dan keturunannya dikenal dengan sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH).
Ciri-ciri sapi PFH adalah belang hitam putih atau merah putih, punggung agak melengkung ke atas, bentuk ambing seperti cawan dengan puting susu yang kebanyakan kecil dan kurang seragam, pada dahi terdapat bulu putih yang berbentuk segitiga (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Kartadisastra (1997), sapi PFH mempunyai sistematika sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Marga : Gnatostoma
Kelas : Mamalia
Bangsa : Placentalia
Suku : Ungulata
Ordo : Artiodactyla
Sub Ordo : Selenodontia
Seksi : Fecora
Famili : Bovidae
Sub Famili : Bovinae
Genus : Bos
Menurut Siregar (2003) bahwa sapi PFH jantan mempunyai bobot badan dan pertambahan bobot badan yang termasuk tinggi. Pertambahan bobot badan rata-rata pada sapi PFH jantan yang masih menyusu adalah 0,625 kg perhari. Pada umur satu tahun pertambahan bobot badan dapat mencapai lebih dari 1,0 kg/hari, sedang sapi PFH jantan dapat mencapai bobot badan 800 –1000 kg.
Pencernaan Ruminansia
Proses pencernaan dimulai dari tahap merenggut rumput dengan gigi seri dan ditelan untuk sementara disimpan dalam rumen. Makanan yang berada dalam rumen dan retikulum akan dicerna oleh sejumlah jasad renik yang secara normal ada dalam lambung sapi. Pakan yang telah ditelan dimuntahkan kembali melalui proses regurgitasi dan kemudian dikunyah serta dicampur dengan ludah sewaktu sapi tersebut dalam keadaan istirahat. Makanan yang telah dikunyah kembali secara fisik dan berubah kondisinya menjadi lebih lumat selanjutnya menuju rumen, retikulum, omasum dan abomasum ( Akoso, 1996).
Sistem pencernaan pada sapi atau ruminansia lainnya agak rumit dibandingkan dengan hewan mamalia lainnya. Lambung sapi merupakan lambung yang kompleks terdiri dari empat bagian yaitu paling depan disebut rumen, kemudian retikulum, omasum dan terakhir disebut abomasum yang berhubungan dengan usus (Darmono, 1993).
Menurut Kartadisastra (1997), di dalam rumen terkandung berjuta-juta bakteri dan protozoa yang menggunakan campuran makanan dan air sebagai media hidupnya. Bakteri tersebut memproduksi enzim pencerna serat kasar dan protein serta mensintesis vitamin B yang digunakan untuk berkembang biak dan membentuk sel-sel baru. Sel-sel inilah yang akhirnya dicerna oleh ”induk semang” sebagai protein hewani yang dikenal dengan sebutan protein mikrobia.
Proses fermentasi dalam rumen dipengaruhi oleh kondisi dalam rumen yang an-aerob, tekanan osmose pada rumen yang mirip tekanan darah, temperatur rumen konstan, pH dipertahankan 6,8 oleh adanya absorpsi asam lemak, amonia serta saliva yang berfungsi sebagai buffer (Arora, 1989).
Retikulum merupakan bagian perut yang mempunyai bentuk permukaan menyerupai sarang tawon dengan struktur yang halus dam licin serta berhubungan langsung dengna rumen (Kartadisastra, 1997).
Rumen dan retikulum pada ruminansia sering disebut dengan satu nama yaitu ruminoretikulum, ini disebabkan karena pakan dapat bebas keluar-masuk antara rumen dan retikulum. Pencernaan pakan di dalam ruminoretikulum dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba (bakteri dan protozoa) yang ada di ruminoretikulum tersebut (Kamal, 1994). Retikulum membantu ruminasi dimana bolus diregurgitasikan ke dalam mulut. Pola fermentasi di dalam organ ini serupa dengan di dalam rumen (Arora, 1989).
Omasum merupakan bagian perut setelah retikulum yang mempunyai bentuk permukaan berlipat-lipat dengan struktur yang kasar. Fungsi utama omasum menggiling partikel-partikel makanan, mengabsorbi air bersama Na dan K, dan mengabsorbsi asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) dari aliran digesta yang melalui omasum (Arora, 1989).
Sebagian besar air diabsorpsi di dalam omasum baru kemudian pakan masuk ke dalam abomasum. Selama dicerna di abomasum, makanan mendapat sekresi getah lambung. Abomasum ini pula yang menghasilkan saliva untuk membantu proses pengunyahan pakan di mulut (Sarwono dan Arianto, 2002). Abomasum yang berfungsi sebagai lambung tunggal mirip seperti pada non-ruminansia menghasilkan getah lambung yang berisi pepsin. Sejak dari abomasum dan organ pencernaan berikutnya, proses pencernaan dan absorpsi adalah sama dengan ternak berlambung tunggal (Kamal, 1994).
Dari abomasum makanan diserap melalui dinding usus halus yang terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Usus halus mengatur aliran ingesta ke dalam usus besar dengan gerakan peristaltik. Di dalam lumen, getah pankreas, getah usus, dan empedu, mengubah zat makanan dari hasil fermentasi mikroba menjadi manomer yang cocok diabsorbsi secara aktif atau secara pasif atau keduanya. Sejumlah enzim-enzim proteolitik seperti
tripsinogen, kemotripsinogen, prokarboksi peptidase, aminopeptidase pada lumen usus menghidrolisa protein yaitu lipase usus menghidrolisa lipid dan amilase serta disakarida, sedangkan nukleosidase bekerja pada asam nukleat. Enterokinase dan gastrin merupakan enzim yang terlibat dalam pengaktifan enzim- enzim inaktif atau proses sekresi (Arora, 1989)
Usus besar terdiri dari cecum, colon dan rectum. Sekum adalah kantong buntu yang berhubungan dengan promixal colon. Kolon menunda aliran bahan yang tidak dapat dicerna dan selanjutnya menjadi tempat fermentasi mikroba dan bahan-bahan yang tidak tercerna dikeluarkan dari usus besar melalui anus (Arora,1989).
Protein yang masuk dalam retikulo-rumen berasal dari makanan dan saliva. Protein kasar dari kedua sumber tersebut dapat berupa protein murni (terdiri dari asam-asam amino yang diikat dengan ikatan peptida) dan nitrogen non protein (NPN). Beberapa protein murni lolos dari degradasi oleh mikroba rumen sehingga masuk abomasum masih dalam keadaan utuh. Kemudian dicerna secara sempurna dalam usus halus. Di dalam usus halus dihasilkan asam amino yang diserap melalui pembuluh darah berguna sebagai zat pembangun protein tubuh (Tillman et al., 1998).
Pakan
Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, disenangi, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorbsi dan dapat bermanfaat bagi ternak (Kamal, 1994).
Semua jenis ternak memerlukan pakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi, dan reproduksi. Ternak ruminansia seperti sapi memiliki kemampuan memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah menjadi produk yang bernilai gizi dan ekonomis tinggi. Pertambahan berat badan yang maksimal akan bisa dicapai bila pakan yang diberikan mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya (Supratman dan Iwan, 2001 cit Kurniawan, 2005). Blakely dan Bade (1991), menyatakan bahwa pakan ruminansia terdiri dari konsentrat dan pakan berserat (jerami atau rumput).
Konsentrat
Konsentrat merupakan bahan pakan atau campuran bahan pakan yang mengandung serat kasar kurang dari 18 persen, TDN lebih dari 6 persen, dan berperan menutup kekurangan nutrien yang belum terpenuhi dari hijauan. Konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrien tinggi dengan kadar serat kasar rendah. Konsentrat atau pakan penguat adalah terdiri dari biji-bijian dan limbah hasil proses industri bahan pangan seperti jagung giling, tepung kedelai, menir, dedak, bekatul, bungkil kelapa, tetes dan umbi. Peranan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrien yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (Akoso, 1996).
Tujuan dari pemberian konsentrat pada sapi potong adalah agar sapi dapat cepat dijual, untuk memenuhi permintaan tertentu terhadap kualitas karkas sebagai hasil penggemukan (Parakkasi, 1999).
Konsentrat dibedakan dua kelompok, yaitu konsentrat sumber enegi (carbonaseous concentrate) dan konsentrat sumber protein (proteinaseous concentrate). Carbonaseous concentrate merupakan konsentrat yang mengandung energi tinggi, protein rendah dengan protein kasar kurang dari 20 persen dan serat kasar 18 persen, sedangkan proteinaseous concentrate adalah konsentrat yang mengandung protein tinggi dengan protein kasar lebih dari 2 persen (Prawirokusumo, 1994).
Rumput Raja
Menurut Siregar (1994), hijauan diartikan sebagai pakan yang mengandung serat kasar yang relatif tinggi. Jenis pakan hijauan ini antara lain hay, silase, rumput-rumputan, leguminosa, dan limbah pertanian seperti jerami padi, pucuk tebu, daun jagung dan lain-lain.
Rumput Raja atau Pennisetum hybryda adalah jenis rumput unggul hasil persilangan antara Pennisetum purpurium dengan Pennisetum typoides. Persilangan pertama dilakukan pada tahun 1936 di Afrika Selatan dengan nama Babala napier hybrid atau Pennisetum purpureupoides (Direktorat Bina Produksi Peternakan, 1989).
Hasil penelitian di Indonesia menunjukan bahwa rumput Raja yang dipotong umur 6 minggu (42 hari) dapat menghasilkan hijauan segar sebanyak 1076 ton/ha/th dengan kadar bahan kering 22,4 persen, abu 18,6 persen, protein kasar 13,5 persen, ekstrak eter 3,5 persen, Ca 0,37 persen, dan P 0,35 persen (Siregar, 1989).
Performan Sapi PFH
Konsumsi PakanKonsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan ternak dalam periode waktu tertentu, biasanya dalam satuan waktu per hari (Wariata, 2000). Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting yang menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan selanjutnya mempengaruhi tingkat produksi (Wodzicka, 1993).
Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa ternak ruminansia yang normal (tidak dalam keadaan sakit atau sedang berproduksi), mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok.
Arora (1989) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering pakan yang bermutu baik dapat mencapai 3,5 persen dari berat badan, sedangkan konsumsi pakan bermutu rendah terbatas hanya 2 persen dari berat badan. Semakin tinggi tingkat kecernaan pakan akan meningkatkan konsumsi pakan (Tillman et. al, 1991) sehingga jumlah nutrien yang digunakan untuk produksi akan meningkat (Siregar, 1994).
Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan bentuk yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa (Williams, 1982 yang disitasi Rachmat, 1991). Selain pakan, faktor bangsa ternak dan jenis kelamin juga merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan (Tillman et al., 1998).
Pertumbuhan merupakan suatu proses pertambahan berat badan sejak adanya konsepsi sampai dewasa yang dapat diukur dengan batasan panjang, volume dan massa (Soeparno, 1992). Pertumbuhan dapat diketahui dengan mengukur berat badan yang dilakukan melalui penimbangan berulang-ulang serta mencatat pertambahan berat badan tubuh tiap hari, minggu, bulan dan seterusnya (Murtidjo, 1990).
Bobot badan ternak senantiasa berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya. Makin tinggi tingkat konsumsi pakannya, akan makin tinggi pula bobot badannya (Kartadisastra, 1997). Kenaikan berat badan terjadi apabila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka kelebihan nutrien akan diubah menjadi jaringan daging dan lemak sehingga pertambahan bobot badan tampak menjadi lebih jelas (Williamson dan Payne, 1993). Kartadisastra (1997) menambahkan bahwa apabila jumlah pakan yang dikonsumsi lebih rendah dari kebutuhannya, ternak akan kehilangan bobot badannya.
Konversi Pakan
Konversi pakan menurut Kartadisastra (1997) adalah imbangan antara jumlah pakan yang dikonsumsi untuk ternak dengan berat daging hidup yang dihasilkan. Church and Pond (1995) menyatakan bahwa kualitas pakan akan menentukan konversi pakan. Pakan yang berkualitas baik akan dapat menghasilkan pertambahan berat badan yang tinggi.
Konversi pakan dipengaruhi oleh bangsa sapi, genetik, kondisi sapi, umur, pertambahan berat badan harian (PBBH), kemampuan ternak dalam mencerna pakan, palatabilitas pakan, jenis bahan pakan, tersedianya nutrien dalam ransum, kondisi musim dan manajemen (Campbell dan Lasley, 1985; Siregar, 1994; Tillman et al., 1991).
Nurdin (2000) cit Sugiharto (2004) menyatakan bahwa konversi pakan sapi-sapi yang diberi pakan lokal sesuai dengan kebiasaan petani di lahan kering yaitu sebesar 13,6 sedangkan konversi pakan yang ideal untuk sapi potong adalah 9 (Tillman et. al, 1991). Hardjosuworo dan Levine
(1987) cit Trisiwi (2001) menyatakan bahwa dengan persentase pemberian konsentrat 85 persen dihasilkan konversi pakan 8,56.
Feed Cost Per Gain
Feed cost per gain adalah besarnya biaya pakan yang diperlukan ternak untuk menghasilkan 1 kg pertambahan bobot badan atau gain (Suparman, 2004). Feed cost per gain dinilai baik apabila angka yang diperoleh serendah mungkin, yang berarti dari segi ekonomi penggunaan pakan efisien. Untuk mendapatkan feed cost per gain rendah maka pemilihan bahan pakan untuk menyusun ransum harus semurah mungkin dan tersedia secara kontinyu atau dapat juga menggunakan limbah pertanian yang tidak kompetitif (Basuki, 2002 yang disitasi Fianti, 2004).
Nurdin (2000) yang disitasi oleh Sugiharto, et al., (2004) menambahkan nilai feed cost per gain erat kaitannya dengan menurunnya nilai konversi dan harga pakan. Semakin rendah konversi pakan, maka semakin rendah biaya yang harus dikeluarkan untuk pertambahan berat badan dalam satuan yang sama.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang Pengaruh imbangan hijauan dengan konsentrat berbahan baku limbah pengolahan hasil-hasil pertanian dalam ransum terhadap penampilan sapi PFH jantan dilaksanakan di kandang milik Perusahaan Peternakan Sapi Perah “Murni” yang berlokasi di Jebres, Surakarta. Analisis bahan pakan dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian memerlukan waktu 6 bulan, yakni dari bulan Juni sampai dengan Nopember 2006 yang meliputi beberapa tahapan diantaranya : persiapan penelitian, adaptasi, pengumpulan data lapangan (data collection), analisis sampel pakan, tabulasi data dan penulisan untuk skripsi.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Sapi : Digunakan sapi jantan (bakalan) jenis Peranakan Friesian Holstein (PFH) sebanyak 12 ekor, dengan berat badan rata-rata 394,67± 43,29 kg/ekor.
Kandang dan perlengkapannya : Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu, lengkap dengan tempat pakan dan tempat air minum.
Timbangan : Timbangan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah timbangan elektrik merk “Mettler Toledo Hawk” kapasitas 2000 kg dengan kepekaan 0,2 kg untuk menimbang ternak, merk “KHS” dengan kapasitas 300 kg dengan kepekaan 0,1 kg untuk menimbang pakan dan sisa pakan.
Ransum : Ransum yang digunakan adalah hijauan (rumput Raja) dan konsentrat (dengan komposisi sesuai Tabel 3). Perlakuan yang diberikan berupa imbangan antara hijauan (H) dengan konsentrat (K) dalam ransum yakni sebesar 100% : 0% (P0), 70% : 30% (P1), 40% : 60% (P2), dan 10% : 90% (P3). Kebutuhan nutrien sapi potong, kandungan nutrien bahan penyusun konsentrat, komposisi bahan penyusun konsentrat dan kandungan nutriennya, serta komposisi pakan dan kandungan nutrien ransum penelitian seperti terlihat pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4.
Table 1. Kebutuhan nutrien sapi PFH jantan dengan bobot 400 kg (dlm BK)
Nutrien | % |
Protein Kasar (PK) | 9,40 |
Kalsium (Ca) | 0,22 |
Phospor (P) | 0,21 |
Total Digestible Nutrient (TDN) | 72,0 |
Sumber : Parakkasi (1999).
Table 2. Kandungan nutrien bahan pakan penyusun konsentrat
Bahan | BK (%) | % Dasar BK | ||||
PK | SK EE | Abu | TDN2) | |||
Rumput Raja | 36,58 | 12,56 | 32,04 | 2,91 | 13,73 | 54,0 |
Dedak Padi1) | 88,49 | 10,92 | 7,22 | 8,48 | 14,33 | 50,0 |
Onggok | 36,11 | 3,79 | 10,40 | 0,52 | 1,99 | 85,0 |
Bungkil Kelapa | 91,87 | 22,51 | 10,23 | 13,55 | 7,72 | 81,0 |
Tongkol Jagung | 94,30 | 2,14 | 38,62 | 0,51 | 1,55 | 48,0 |
Ampas Tahu | 90,90 | 23,42 | 19,74 | 9,52 | 5,28 | 79,0 |
Ampas Tempe | 91,15 | 11,88 | 43,13 | 0,48 | 3,29 | 73,9 |
Sumber : Hasil analisis Lab. Biokimia Nutrisi, Fak. Peternakan UGM (2006)
- Hasil analisis Lab. Nutrisi dan Makanan Ternak, Fak. Pertanian UNS (2006) Siregar (1994)
Tabel 3. Komposisi bahan penyusun konsentrat dan kandungan nutriennya
(% dasar BK) | |
Persentase | |
Bahan : | |
Dedak Padi | 40 |
Onggok | 25 |
Bungkil Kelapa | 20 |
Tongkol Jagung | 7 |
Ampas Tahu | 5 |
Ampas Tempe | 2 |
Vitamin mix | 1 |
Kandungan nutrien : | |
Bahan Kering (BK) | 75,77 |
Protein Kasar (PK) | 11,38 |
Serat Kasar | 12,09 |
Total Digestible Nutrient (TDN) | 66,24 |
Harga (Rp/Kg BK) | 1.044,63 |
Table 4. Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan
Bahan Pakan | Perlakuan | |||
P0 | P1 | P2 | P3 | |
Rumput Raja (%) | 100 | 70 | 40 | 10 |
Konsentrat (%) | 0 | 30 | 60 | 90 |
Jumlah | 100 | 100 | 100 | 100 |
Kandungan Nutrien (%BK)1) Protein Kasar (%) | 12,56 | 12,21 | 11,85 | 11,50 |
Serat Kasar (%) | 32,04 | 26,06 | 20,07 | 14,09 |
Total Digestible Nutrient (%) | 54,00 | 57,67 | 61,01 | 65,01 |
Harga (Rp/Kg BK) | 546,75 | 696,11 | 845,48 | 994,84 |
Sumber : 1) Hasil perhitungan dari Tabel 2
Keterangan : Harga-harga bahan pakan (as fed) saat penelitian :
- Rumput Raja : Rp. 200,00
- Dedak padi : Rp. 950,00
- Onggok : Rp. 250,00
- Bungkil kelapa : Rp. 1.175,00
- Tongkol jagung : Rp. 450,00
- Ampas tahu (kering) : Rp. 2.000,00
- Ampas tempe (kering) : Rp. 1.500,00
Persiapan Penelitian
Persiapan kandang
Kandang dan semua peralatannya sebelum digunakan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan detergen kemudian disinfektan menggunakan Sanitaz-12 dengan dosis 10 ml! liter air. Tempat pakan dan minum serta peralatan yang lain dicuci dengan detergent dan direndam dengan Sanitaz-12 dengan dosis 10 ml! liter air kemudian dikeringkan dan dimasukkan dalam kandang.
Persiapan ransum
Pakan yang diberikan berdasarkan bahan kering sebanyak 3 % dari berat badan (Siregar, 1994). Ransum perlakuan yang terdiri dari bahan pakan konsentrat dicampur sesuai perbandingan (Tabel 3). Konsentrat dicampur setiap sehari sekali, sedangkan rumput Raja dicacah sebelum diberikan pada ternak.
Persiapan sapi
Sapi percobaan diberikan obat cacing merk Albenzi+ dengan dosis 0,5 ml!20 kg BB. Persiapan sapi percobaan dilakukan selama dua minggu yaitu untuk memilih sapi-sapi yang seragam jenis dan bobot badannya, serta penimbangan bobot badan awal. Selanjutnya sapi-sapi percobaan dimasukkan kedalam kandang secara acak.
Cara Penelitian
Macam Penelitian
Penelitian pengaruh imbangan hijauan dengan konsentrat berbahan baku limbah pengolahan hasil pertanian dalam ransum terhadap penampilan sapi PFH jantan dilakukan secara eksperimental.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan empat perlakuan (P0, P1, P2, P3). Setiap perlakuan terdiri dari tiga ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu ekor sapi. Ransum yang diberikan terdiri dari hijauan dan konsentrat. Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan imbangan antara hijauan dan konsentrat, masing-masing sebagai berikut :
P0 = 100% rumput Raja + 0% konsentrat
P1 = 70% rumput Raja + 30% konsentrat
P2 = 40% rumput Raja + 60% konsentrat
P3 = 10% rumput Raja + 90% konsentra
Peubah Penelitian
Konsumsi pakan
Dihitung dengan cara menimbang jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan, dikonversikan ke dalam bahan kering dan dinyatakan dalam Kg/ ekor/ hari.
Konsumsi pakan = pakan diberikan (Kg) – pakan tersisa (Kg)
waktu (hari)
Pertambahan bobot badan harian
Merupakan selisih antara bobot badan awal dengan bobot badan akhir selama pemeliharaan yang dinyatakan dalam Kg/ekor/hari. Penimbangan bobot badan tiap dua minggu sekali.
PBBH = bobot badan akhir (Kg) – bobot badan awal (Kg)
waktu (hari)
Konversi pakan
Perbandingan antara jumlah konsumsi pakan berdasarkan bahan kering dengan pertambahan bobot badan selama pemeliharaan.
Konversi pakan = Konsumsi pakan (Kg)
PBB (Kg)
Feed cost per gain
Diperoleh dengan cara menghitung jumlah biaya pakan yang diperlukan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan.
Feed cost per gain = Total biaya pakan per periode
PBB (Kg)
Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dua tahap yaitu tahap adaptasi dan tahap pengumpulan data (data collection). Tahap adaptasi berlangsung selama dua minggu untuk adaptasi terhadap lingkungan kandang dan pakan perlakuan. Tahap pengumpulan data selama 4 minggu meliputi pengukuran konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi ransum, penghitungan feed cost per gain.
Ransum diberikan dengan kebutuhan BK sebanyak 3% dari bobot badan sesuai dengan perlakuan masing-masing Waktu pemberian pagi dan sore yaitu, pukul 07.00 WIB untuk konsentrat , pukul 09.00 WIB untuk hijauan dan pukul 14.00 WIB untuk konsentrat, pukul 16.00 untuk hijauan sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.
Cara Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian meliputi konsumsi pakan dan konversi pakan dianalisis variansi menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah (Yitnosumarto, 1993). Pertambahan bobot badan dianalisis menggunakan analisis kovariansi, sedangkan feed cost per gain dilaporkan secara deskriptif. Model matematika sebagai berikut :
Yij =µ + Ti + εij
Keterangan :
Yij : Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : Rataan nilai dari seluruh perlakuan
Ti : Pengaruh perlakuan ke-i
εij : Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan (dalam BK)
Rerata konsumsi pakan sapi PFH jantan selama penelitian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rerata konsumsi pakan sapi PFH jantan (kg/ekor/hari)
Perlakuan | Ulangan | Rerata | ||
1 | 2 | 3 | ||
P0 | 10,13 | 8,62 | 10,22 | 9,66 |
P1 | 11,61 | 9,48 | 10,92 | 10,67 |
P2 | 11,36 | 11,53 | 14,72 | 12,54 |
P3 | 13,01 | 8,58 | 9,12 | 10,24 |
Rerata konsumsi pakan pada perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 9,66; 10,67; 12,54; dan 10,24 (kg/ekor/hari).
Hasil analisis variansi konsumsi pakan sapi PFH jantan yang diberi pakan perlakuan berupa imbangan hijauan dengan konsentrat dalam ransum adalah berbeda tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konsentrat berbahan baku limbah industri pengolahan hasil pertanian mempunyai palatabilitas yang cukup tinggi oleh sapi PFH jantan.
Menurut Parakkasi (1995) tingkat konsumsi dapat disamakan dengan palatabilitas atau menggambarkan palatabilitas. Dijelaskan lebih lanjut oleh Kartadisastra (1997) bahwa keadaan fisik dan kimiawi pakan yang dicerminkan kenampakan, bau, rasa, dan tekstur menunjukkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya.
Sesuai pendapat Kamal (1994) bahwa tinggi rendahnya kandungan energi dan protein dalam pakan akan berpengaruh terhadap banyak sedikitnya konsumsi pakan. Namun, dalam penelitian ini kisaran kandungan energi dan protein yang menyusun komposisi pakan dalam ransum perlakuan belum mampu meningkatkkan konsumsi pakan dari sapi PFH jantan sehingga imbangan hijauan dan konsentrat dalam ransum tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan sapi PFH jantan. Selain itu, menurut Hume (1982), konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi oleh kemampuan rumen untuk menampung bahan kering serta semakin cepatnya bahan pakan meninggalkan rumen maka semakin banyak pula pakan yang masuk atau terkonsumsi.
Dari Tabel. 5 terlihat bahwa rerata konsumsi pakan (dalam BK) secara kuantitatif yang paling rendah adalah ransum yang hanya terdiri dari hijauan (rumput Raja). Hal ini karena kemampuan sapi dalam mengkonsumsi pakan adalah terbatas, seperti diketahui kondisi fisik rumput Raja yang bersifat bulky dan kadar bahan kering rumput Raja segar 36,58 persen. Sedangkan sapi-sapi yang memperoleh konsentrat sebagai komponen ransumnya secara umum lebih tinggi konsumsi pakannya dibandingkan pakan kontrolnya (pakan hijauan saja). Hal ini dikarenakan kadar BK dari konsentrat (75,77%) lebih tinggi dari hijauan. Keadaan ini dapat dipahami bahwa konsentrat yang berbahan limbah pertanian dan atau limbah industri pengolahan hasil-hasil pertanian cukup disukai oleh sapi PFH jantan.
Diagram batang konsumsi pakan sapi PFH jantan dapat dilihat pada Gambar 1.
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Rerata pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi PFH jantan selama penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi PFH jantan (kg! ekor! hari)
Perlakuan | Ulangan | Rerata | ||
1 | 2 | 3 | ||
P0 | 1,13 | 0,30 | 0,97 | 0,80 |
P1 | 1,33 | 0,47 | 1,47 | 1,09 |
P2 | 0,67 | 1,33 | 1,90 | 1,30 |
P3 | 1,27 | 0,50 | 0,43 | 0,73 |
Rerata PBBH sapi PFH jantan dari perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebagai berikut 0,80; 1,09; 1,30; dan 0,73 (Kg! ekor! hari). Berdasarkan analisis kovariansi menunjukkan bahwa PBBH adalah berbeda tidak nyata. Hal ini berarti imbangan hijauan dengan konsentrat dalam ransum tidak berpengaruh terhadap PBBH sapi PFH jantan dikarenakan konsumsi pakan yang berbeda tidak nyata. Wodzicka-Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa jumlah konsumsi merupakan faktor utama yang menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan selanjutnya mempengaruhi pertambahan bobot badan.
Protein merupakan salah satu komponen nutrien pakan yang penting untuk pertumbuhan ternak. Tingginya pertambahan bobot badan sapi berbanding lurus dengan kandungan protein kasar dalam ransum yang dikonsumsi (Martawidjaja, 1998). Kandungan protein kasar ransum 11,50 % - 12,56 % belum mampu memberikan pengaruh yang nyata terhadap PBBH. Secara kuantitatif dapat diperoleh bahwa kelompok sapi yang hanya memperoleh ransum yang hanya terdiri dari hijauan 100 % (P0) memberikan PBBH yang lebih baik daripada kelompok sapi yang diberikan ransum hijauan dan konsentrat 10 : 90 % (P3). Sedangkan ransum dengan imbangan hijauan dan konsentrat 40 : 60 % (P3) memperoleh PBBH paling tinggi daripada yang lain. Hal ini dikarenakan kandungan protein kasar rumput Raja lebih tinggi daripada konsentrat perlakuan, sehingga kelompok sapi yang hanya mendapatkan rumput Raja saja masih dapat terpenuhi kebutuhan nutriennya. Diagram batang PBBH sapi PFH jantan dapat dilihat pada Gambar 2. dibawah ini :
PBBH dalam penelitian ini yang tidak berbeda nyata dapat dipahami bahwa ransum yang komponennya terdiri dari limbah industri pengolahan hasil-hasil pertanian dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusun ransum sapi potong tanpa ada efek yang merugikan.
Konversi Pakan
Rerata konversi pakan sapi PFH jantan selama penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata konversi pakan sapi PFH jantan
Perlakuan | Ulangan | Rerata | ||
1 | 2 | 3 | ||
P0 | 8,96 | 28,73 | 10,54 | 16,08 |
P1 | 8,73 | 20,17 | 7,43 | 12,11 |
P2 | 16,96 | 8,67 | 7,75 | 11,13 |
P3 | 10,24 | 17,16 | 21,21 | 16,20 |
Hasil dari analisis variansi menunjukkan bahwa imbangan hijauan dengan konsentrat pada sapi PFH jantan terhadap konversi pakan memberikan hasil yang berbeda tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh konsumsi pakan dan PBBH yang juga berbeda tidak nyata, karena besar kecilnya konversi pakan tergantung pada jumlah konsumsi pakan dan pertambahan berat badan.
Konversi pakan merupakan suatu gambaran terhadap efisiensi penggunaan pakan dalam meningkatkan pertambahan bobot badan ternak (Suhardiani, 1997). Semakin rendah angka konversi menunjukkan semakin tinggi efisiensi penggunaan pakan tersebut (Doho dan Bustami, 1989 cit Anggraeny et al., 2006). Penggunaan pakan disebut efisien apabila jumlah pakan yang dikonsumsi minimal dan menghasilkan pertambahan bobot badan yang maksimal (Mc. Donald et al., 1988 cit Martawidjaja, 1998).
Dari Tabel 7. dapat diketahui secara kuantitatif kelompok sapi yang memperoleh ransum yang hanya terdiri dari rumput Raja saja (P0) dan 90 persen konsentrat (P3) nilai konversi pakannya tinggi dibandingkan dengan ransum konsentrat 30 atau 60 persen. Hal ini berarti untuk memperoleh PBBH dibutuhkan pakan dalam jumlah yang banyak. Seperti diketahui bahwa nilai konversi pakan merupakan perbandingan antara konsumsi pakan dengan PBBH. Dengan demikian semakin rendah nilai konversi pakan semakin baik (efisien) dalam penggunaan pakan tersebut diubah menjadi daging. Sesuai dengan Martawidjaja (1998) bahwa semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan lebih efisien penggunaan pakannya.
Diagram batang konversi pakan sapi PFH jantan dapat dilihat pada Gambar 3. dibawah ini :
Feed Cost per Gain (FC/ G)
Rerata feed cost per gain sapi PFH jantan selama penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rerata feed cost per gain sapi PFH jantan (Rp/kg gain)
Perlakuan | Ulangan | Rerata | ||
1 | 2 | 3 | ||
P0 | 4.898,88 | 15.708,13 | 5.762,75 | 8.789,92 |
P1 | 6.077,04 | 14.040,54 | 5.172,10 | 8.429,89 |
P2 | 14.339,34 | 7.330,31 | 6.552,47 | 9.407,37 |
P3 | 10.187,16 | 17.071,45 | 21.100,56 | 16.119,72 |
Nilai rerata feed cost per gain dari sapi yang diberi imbangan hijauan dan konsentrat berdasarkan analisis deskriptif dari keempat perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebagai berikut Rp. 8.789,92; Rp. 8.429,89; Rp. 9.407,37 dan Rp. 16.119,72. Ada tiga komponen untuk menghitung feed cost per gain yaitu : harga bahan pakan yang digunakan dalam menyusun ransum, jumlah bahan pakan yang dikonsumsi tiap harinya serta rerata pertambahan bobot badan yang dihasilkan (Anonimus, 1999). Harga pakan selama penelitian (as fed) adalah rumput Raja dengan harga Rp. 200,00; dedak padi Rp. 950,00; onggok Rp. 250,00; bungkil kelapa Rp. 1.175,00; tongkol jagung Rp. 450,00; ampas tahu kering Rp. 2.000,00; ampas tempe kering Rp. 1500,00 dan vitamin mix Rp. 1.000,00 masing-masing per kg.
Diagram batang feed cost per gain dapat dilihat pada Gambar 4. dibawah ini.
Gambar 4. Diagram batang feed cost per gain sapi PFH jantan
Semakin kecil feed cost per gain maka biaya pakan makin minimal untuk menghasilkan pertambahan bobot badan yang maksimal (Suhardiani, 1997). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi PFH yang diberi pakan perlakuan yang meggunakan imbangan hijauan dan konsentrat 70 : 30 persen adalah yang paling ekonomis. Hal ini dikarenakan kandungan protein kasar rumput Raja lebih tinggi daripada konsentrat perlakuan dan harga rumput Raja lebih murah dari pada harga konsentrat. Sehingga kelompok sapi yang hanya mendapatkan rumput Raja saja masih dapat terpenuhi kebutuhan nutriennya sehingga diperoleh PBBH yang sama dengan perlakuan yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Imbangan antara hijauan dengan konsentrat berbahan baku limbah pengolahan hasil pertanian yaitu sebesar 100% : 0%, 70% : 30%, 40% : 60% dan
10% : 90% memberikan hasil yang sama terhadap penampilan sapi PFH jantan. Pakan yang paling murah dan efisien pada imbangan hijauan 70 % dan konsentrat 30 %.
Saran
Penggemukan sapi PFH jantan dapat menggunakan pakan hijauan dengan kualitas tinggi (rumput Raja) maka dapat diberikan imbangang hijauan sampai dengan 70 % dan konsentrat 30 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1999. Pakan Sapi Perah Laktasi. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Semarang.
Arora, S. P., 1989. Microbial Digestion in Ruminansia. Indian Council of Agricultural Resesrch. New Delhi. Terjemahan : Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia, oleh : Muwarni, R. Editor : Srigandono, B. Fapet UNDIP. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Akoso, B., T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Basuki, P., 2002. Pengantar Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Blakely, J. dan D. H. Bade., 1991. The science of Annimal Husbandry. Fourth ed. Terjemahan : Ilmu Peternakan. Edisi keempat, oleh : Srigandono, B. Dan Soedarsono. Fapet UNDIP. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Church, D. C. and W. G. Pond. 1995. Basic Animal Nutritional and Feeding 4th eds. John Willey and Sons Inc. New York.
Darmono., 1993. Tata Laksana Usaha Sapi Kareman. Kanisius. Yogyakarta.
Direktorat Bina Produksi Peternakan., 1989. Program Breeding Sapi Perah. Ditjen Peternakan dan Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Gunawan dan A. Musofie, 1988. Penggemukan Sapi dan Pengolahan Limbah. Dalam : Proc. Seminar Pemantapan Usaha Peternakan dalam rangka Menunjang Pembangunan Pertanian. ISPI cabang Jawa Timur.
Kamal, M., 1994. Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hume, I. D., 1982. Digestion and Protein Microbalism in a Course Manual in Nutrition and Growth. Editor: H. L. Davies. Australian Universities. Australian Vice Choncellors Committee, Sidney.
Kartadisastra, H.R., 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta.
Kurniawan, H., 2005. Pengaruh Penambahan Zeolit dalam Ransum terhadap Kecernaan Bahan kering dan Bahan Organik pada Sapi PFH Jantan Muda. Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret . Surakarta.
Martawidjaja, M., 1998. Pengaruh Taraf Pemberian Konsentrat terhadap Keragaan Kambing Kacang Betina Sapihan. Pada : Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Murtidjo, B.A., 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press Jakarta. Pane, I., 1993. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia. Jakarta. Prawirokusumo, S., 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE Yogyakarta.
Sarwono, B dan H. B. Arianto, 2002. Penggemukan Sapi Secara Cepat. Cetakan. ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rachmat, A., 1991. Pengaruh Ekstrak Hiposfisis Sapi dan Aras Protein terhadap Peningkatan Produktivitas dan Status Faali Kelinci Lokal Jantan Lepas Sapih. Tesis S2 Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Soeparno, 1989. Kimia dan Nutrisi Daging. Fakultas Peternakan Program Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.
Suparno and H. L. Davies. 1987. Studeisa on growth and carcass composition in daldale wether lambs. Australia J. Agric. Res. 38 : 417 – 425.
Siregar, S. B., 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya, Jakarta. Siregar, S. B., 2003. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugiharto, Y., N. Ngadiyono, dan P. Basuki., 2004. Produktivitas Sapi Peranakan Ongole pada Pola Pemeliharaan Sistem Perkampungan Ternak dan Kandang Individu di Kabupaten Bantul. Jurnal Agrosains. Berkala Penelitian Pascasarjana Ilmu-ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17 (2) : 191-202
Suparman, 2004. Bertanam kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta.
Supratman dan Iwan, 2001. Manajemen Pakan Sapi Potong. Pelatihan Wirabisnis Feedlot Sapi Potong Fakultas Peternakan UNPAD, Bandung
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo, 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wodzicka. M, Tomaszewska, I.M., Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner, dan T.R. Wiradarya., 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. UNS Press. Surakarta.
Yitnosumarto, S., 1993. Perancangan Percobaan, Analisis dan Interprestasinya. Gramedia Pustaka Utama, Yogyakarta.
Lampiran 1. Analisis Variansi Konsumsi Pakan
Perlakuan | Ulangan | Rerata | |||||
1 | 2 | 3 | |||||
P0 | 10,13 | 8,62 | 10,22 | 9,66 | |||
P1 | 11,61 | 9,48 | 10,92 | 10,67 | |||
P2 | 11,36 | 11,53 | 14,72 | 12,54 | |||
P3 | 13,01 | 8,58 | 9,12 | 10,24 | |||
Perhitungan : | |||||||
FK = (129,3)2 = 1393,21 12
JK Lengkap = [ (10,13)2 + ... + (9,12)2] – 1393,21 = 36,79
JK Treatment = [ (10,13)2 + .... + (9,12)2 ] – 1393,21 3
= 13,96
JK Error = JKLengkap – JK Treatment
= 36,79 – 13,96
= 22,83
Daftar Analisis Variansi
Sumber | Db | JK | KT | F | F Tabel | |
Keragaman | Hitung | |||||
5% | 1% | |||||
Perlakuan | 3 | 13,96 | 4,65 | 1,63ns | 4,07 | 7,59 |
Galat | 8 | 22,83 | 2,85 | |||
Total | 11 | 36,79 |
ns = non significan (berbeda tidak nyata)