Produksi Gula Di Indonesia
Produksi Gula Di Indonesia - Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara agribisnis dan agroindustri. Indonesia semula terkenal sebagai negara pengekspor gula yang cukup besar dan diperhitungkan di dunia, tetapi saat ini justru berubah menjadi negara pengimpor gula dalam jumlah cukup besar.
Impor gula di tahun 2000 mencapai tidak kurang dari 1,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan beberapa sumber menyatakan bahwa impor gula yang terjadi lebih besar dari angka resmi. Hal ini terjadi karena produksi gula dalam negeri hanya sekitar 1,69 juta ton.
Produksi Gula Di Indonesia
Penurunan produksi gula di Indonesia merupakan suatu akibat dari proses yang kompleks, baik dari segi sosial, ekonomi, teknologi, dan kebijakan. Penanganan yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah produksi gula. Berbagai aspek dan berbagai kepentingan terlibat dalam proses penurunan produksi gula dalam negeri.
Masuknya gula dari luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga produksi dalam negeri menyebabkan produksi gula nasional kurang mampu bersaing. Rendahnya efisiensi teknik dan efisiensi ekonomi menyebabkan harga gula produksi dalam negeri menjadi mahal.
Pulau Jawa yang semula sebagai sentral produksi gula nasional semakin bergeser dengan semakin sulitnya diperoleh lahan yang memadai untuk areal produksi tebu. Lahan yang memiliki sifat sesuai untuk tebu lebih banyak digunakan untuk komoditi lain yang lebih menguntungkan dibanding tebu. Kurangnya modal petani dan sering terlambatnya pencairan kredit semakin menambah rendahnya mutu penerapan teknologi tebu.
Rendahnya tarif impor gula yang menambah semakin terpuruknya produksi gula nasional. Gula impor membanjir justru pada saat petani sedang panen, dan pabrik sedang giling. Rendahnya tarif impor berkaitan dengan letter of intent yang dibuat IMF dengan pemerintah. Sebenarnya besarnya tarif impor ini masih mungkin ditingkatkan, seperti halnya negara lain yang juga terikat dengan IMF, dapat memasang tarif sampai 104%. Namun, dengan kondisi yang ada di Indonesia, pengenaan tarif impor yang tinggi dapat berdampak maraknya impor gula ilegal.
Persoalan gula memang dilematis mengingat produksi gula nasional baru mencapai 1,69 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional mencapai 3 juta ton. Oleh sebab itu, kebijakan gula yang ada sekarang mungkin perlu dikaji ulang dan dilihat apakah masih sesuai dan berpihak pada petani dan melindungi industri gula nasional, karena selain melindungi petani tebu juga aset nasional yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Bagi lembaga keuangan yang selama ini memberikan dana pinjaman untuk industri gula memerlukan suatu “keamanan” modalnya, sehingga perlu diyakinkan bahwa uangnya akan kembali pada waktunya.
Namun, sering terjadi ketidakjelasan berapa sebenarnya skala ekonomi minimum yang layak diberi pinjaman, sehingga hasilnya dirasakan oleh petani tetapi juga menguntungkan bagi pihak pemberi pinjaman. Data yang ada sering data yang dibuat berdasarkan asumsi teori yang kurang didasarkan pada kenyataan di lapangan sehingga dapat menimbulkan ketidakserasian antara modal dan kebutuhan.
Relokasi pabrik gula ke luar Jawa adalah salah satu alternatif yang dianggap tepat, tetapi pada kenyataannya tidak sesedehana yang dikonsepkan. Terbatasnya lahan dengan kelas kesesuaian untuk tebu saat ini tidak mudah.
Berbagai penelitian bahwa efisiensi akan tercapai jika luas pertanaman mencapai 20.000 ha yang berarti pabrik menggiling dengan kapasitas 12.500 ton tebu per hari dan hari giling 150 hari. Menurut survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Iklim (Puslittanak) dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula (P3GI) didapatkan bahwa areal potensial di luar Jawa yang dianggap sesuai untuk perkebunan tebu ± 1,2 juta hektar, dengan penyebaran Irian Jaya (817.000 ha), Maluku (63.000 ha), Riau (54.600 ha), Sumatera Utara (44.900 ha), Kalimantan Tengah (36.900 ha), dan Sulawesi Selatan (29.200 ha). Namun, dari luasan potensial ini perlu dikoreksi dengan penggunaan lahan saat ini (land use), yang diperkirakan lahan tersedia tidak lebih dari 50 persen.
Persoalan relokasi lainnya adalah besarnya modal untuk membuka pabrik gula di luar Jawa. Sebagai gambaran, untuk sebuah pabrik gula dengan kapasitas 10.000 ton tebu per hari diperlukan dana sekitar $ 70 juta dolar atau senilai 10 kali pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 40 ton tandan buah segar per jam..
Persoalan yang ada ini merupakan suatu bahan kajian bagi semua pihak yang akan “bermain” diagribisnis gula, baik dibidang produksi, dibidang tataniaga, maupun bagi pihak pengambil keputusan tentang gula. Dalam tulisan ini secara lengkap akan diuraikan berbagai hal tentang industri tebu dan gula dalam bentuk review. Dengan mempelajari review tulisan ini diharapkan semua pihak mempunyai persepsi yang sama tentang industri gula di Indonesia.
Perkembangan Industri Gula dari Jaman ke Jaman
Sesuai dengan jenis industrinya, industri gula menurut Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia termasuk sektor Pertanian dengan kode golongan 12410, yang merupakan usaha tidak dapat dipisahkan oleh sektor perkebunan tebu. Hal ini disebabkan oleh gula tebu di Indonesia merupakan hasil pengolahan dari tebu oleh pabrik-pabrik gula yang ada, meskipun belakangan ini mulai dikembangkan pula industri gula tebu yang menggunakan bahan baku gula kasar (raw sugar).
Oleh karena itu maka perkembangan industri gula tebu sangat tergantung kepada perkembangan perkebunan tebu.
Usaha perkebunan tebu termasuk salah satu usaha perkebunan yang cukup lama dikembangkan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan perjalanan sejarah perkembangan industri gulanya yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Bahkan menurut catatan sejarah pengembangan perkebunan gula tersebut terkait erat dengan kepentingan penjajah dimana melalui VOC, Belanda berusaha memenuhi permintaan pasar gula di Eropa yang terus meningkat.
Selanjutnya usaha perkebunan tebu tersebut terus mengikuti perkembangan sejarah yang dapat dibagi dalam 9 periode yaitu;
- Periode VOC,
- Periode Penjajahan Belanda,
- Periode Pemerintahan di bawah Kendali Perancis,
- Periode Penjajahan Inggris,
- Periode Berlakunya Sistem Tanam Paksa,
- Periode Pertumbuhan Pesat Industri Gula,
- Periode Depresi 1930-an,
- Periode Penjajahan Jepang,
- Periode Setelah Kemerdekaan.
Dalam perkembangan tersebut perkebunan tebu Indonesia sempat mengalami pasang surut dan pernah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1928 dengan tingkat produksi sebesar 3 juta ton gula pasir. Kejayaan tersebut tercapai berkat manajemen dan sistim bercocok tanam yang tepat serta efisiensi pabrik yang tinggi. Tingkat produksi yang tinggi tersebut bahkan diikuti pula ekspor setelah dibukanya kran ekspor oleh pemerintah Belanda.
Perkembangan usaha perkebunan tebu tersebut selanjutnya mengalami penurunan sejak masuknya penjajah Jepang. Pada masa penjajahan Jepang banyak lahan tebu yang dialihkan ke tanaman lain khususnya padi dan tanaman pangan lainnya untuk kepentingan perang. Selain itu, pada masa itu banyak alat penggilingan gula yang dikirim ke luar negeri atau dihancurkan.
Penanaman tebu yang menurun pada masa penjajahan Jepang tersebut terus berlanjut sampai setelah periode kemerdekaan. Turunnya perkembangan perkebunan tebu tersebut terus terjadi meskipun pada periode 1951-1981 telah diupayakan berbagai peraturan dan sistem produksi untuk mengembalikan tingkat swasembada gula tersebut nampaknya tidak banyak mengangkat produksi gula untuk memenuhi swasembada nasional. Hal ini terlihat dari perkembangan luas areal serta produksi tebu dalam beberapa tahun terakhir yang cenderung turun.
Penurunan luas areal dan produksi perkebunan tebu tersebut terjadi baik di Jawa yang sejak dahulu terkenal sebagai sentral produksi gula maupun di luar Jawa yang belakangan ini menjadi sasaran pengembangan areal tebu. Selain luas dan produksinya berbagai upaya peningkatan produksi gula nasional belakangan ini terlihat kurang berhasil meningkatkan tingkat produksi (produktivitas) tebu secara nasional.
Cukup sulitnya menambah areal dan produksi tebu tersebut menurut beberapa pakar disebabkan oleh semakin terbatasnya lahan subur (sawah) untuk perkebunan tebu di Jawa dan masih lambannya pengembangan areal tebu di luar Jawa. Jawa yang terkenal sebagai sentral produksi gula nasional belakangan ini cukup sulit untuk meningkatkan areal pertanaman tebu karena persaingan penggunaan lahan yang ketat dengan tanaman lainnya seperti padi, kedelai dan lain-lain maupun dengan pengalihan areal subur oleh industri.
Sebagai gambaran perbandingan pendapatan petani tebu di Jawa disampaikan oleh (Roesmanto dan Nahdodin, 1999) yaitu untuk tebu sawah berpengairan teknis keuntungan kotor tebu/hektar sebesar Rp. 3.483.000,-, untuk sawah setengah teknis Rp. 3.140.000,0, sedangkan untuk tegalan Rp. 2.965.000,-.
Sementara itu untuk tanaman alternatif di lahan irigasi dengan pola tanam padi-padi-padi keuntungan kotor yang diperoleh sebesar Rp. 9.752.000,-, untuk pola tanam padi-padi-jagung sebesar Rp. 8.368.000,- dan untuk pola tanam padi-padi-kedelai sebesar Rp. 7.529.000,-. Pendapatan kotor di lahan tegalan dengan pola tanam jagung-ketela pohon sebesar Rp. 2.098.000,-
Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan sebagai ukuran tingkat pendapatan petani tebu ialah Nilai Tukar Petani (NTP). Nilai tukar petani adalah gambaran kemampuan tukar produk hasil pertanian dengan yang mampu dibeli dengan produk tersebut. NTT merupakan cerminan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani.
Dengan mengambil tahun 1987 sebagai tahun dasar (NTP = 100), maka kecuali tahun 1990 sampai dengan 1993, tahun-tahun lainnya berada di bawah angka 100, bahkan untuk tahun 1999 NTP hanya mencapai 80,51 yang merupakan angka terendah selama ini sebagai akibat jatuhnya harga gula (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Rata-Rata NTP Tebu Tahun 1998 - 1999 (1987=100)
Tahun | NTP Tebu | Tahun | NTP Tebu |
1988 | 96,88 | 1994 | 93,21 |
1989 | 99,74 | 1995 | 91,73 |
1990 | 106,65 | 1996 | 89,27 |
1991 | 102,51 | 1997 | 85,82 |
1992 | 110,58 | 1998 | 99,42 |
1993 | 106,35 | 1999 | 80,51 |
Sumber : Ditjen Perkebunan, Dephutbun (1999)
Dalam pelaksanaan dilapangan banyak petani yang merasa dirugikan seperti anggapan petani bahwa pabrik gula kurang transparan dalam menentukan rendemen membuat program TRI kurang diminati.
Kurang suksesnya program Tebu Rakyat Inti (TRI) di Jawa inilah yang membuat banyak pabrik gula di kawasan ini kesulitan berproduksi maksimal. Ketergantungan yang sangat tinggi dari pabrik gula di Jawa terhadap tebu rakyat membuat banyak pabrik gula belakangan ini yang ditidurkan sementara atau tebunya digiling ke pabrik lain.
Luas Areal Pertanaman Tebu
Perkembangan luas areal tebu di Indonesia dari tahun 1994 terus menurun terutama di pulau Jawa, sedangkan di luar Jawa meskipun terjadi peningkatan angkanya relatif kecil (Tabel 2).
Penurunan luas areal di Jawa menjadi sangat berpengaruh karena terjadi pada areal sawah yang merupakan areal andalan untuk tanaman tebu. Potensi lahan sawah ini dapat mencapai rata-rata hasil hablur/ha 8,88 ton dengan rendemen 10,53 persen. Dari proporsi luas areal saat ini terlihat bahwa areal tebu di Jawa sebesar 61% dari total areal tebu di Indonesia.
Tabel 2. Luas Areal Tebu di Indonesia 1994 - 2000
Tahun | Sawah (Jawa) (ha) | Lahan Kering (ha) | Total (ha) | |||||||
Jawa | Luar Jawa | |||||||||
1994 | 146.030 | 166.500 | 112.170 | 424.700 | ||||||
1995 | 135.740 | 160.060 | 125.250 | 421.050 | ||||||
1996 | 126.750 | 163.410 | 132.070 | 422.230 | ||||||
1997 | 118.290 | 144.450 | 128.610 | 391.350 | ||||||
1998 | 108.860 | 133.410 | 127.990 | 370.260 | ||||||
1999 | 95.150 | 116.752 | 128.900 | 340.802 | ||||||
2000 | 92.876*) | 113.517*) | 131.100*) | 337.493*) | ||||||
Keterangan : *) angka sementara
Sumber : AGI, 2000 dan Statistik Gula P3GI (2001)
Data produksi gula dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan produksi gula nasional lebih banyak disebabkan karena peningkatan luas areal. Produksi hablur pada tahun 1994 mencapai 2.453.885 ton dari luas areal 424.700 ha.
Selanjutnya, tahun 1998 dari luas areal 370.260 ha hanya dapat dicapai hasil 1.488.268 ton hablur dan pada tahun 1999 dengan luas areal 340.802 ha hanya diperoleh produksi 1.466.620 ton. Rendahnya produksi ini terutama disebabkan oleh rendahnya rendemen tebu.
Pada tahun 2000 dengan meningkatnya rendemen produksi mencapai 1.685.826 ton meskipun luas areal cenderung menurun (Tabel 3). Dari data ini tampak bahwa peranan kualitas tebu sangat besar terhadap produktivitas gula yang diperoleh, sehingga salah satu faktor yang harus diperbaiki dalam peningkatan produksi ialah meningkatkan kualitas tebu, dalam hal ini terutama peningkatan rendemen.
Tabel 3. Produksi Gula di Indonesia Tahun 1990 - 2000
Tahun | Hablur (ton/ha) | Rendemen (%) | Produksi Hablur (Ton) |
19901991199219931994199519961997199819992000 | 5,815,835,715,855,724,985,195,673,944,375,00 | 7,557,997,217,648,036,977,327,835,495,967,06 | 2.119.5092.252.6662.306.4302.482.0652.453.8852.092.0032.094.1952.189.9751.488.2681.466.6201.685.826 |
Sumber : P3GI, Bulog
Dilihat dari penyebarannya, secara umum areal perkebunan dan produksi tebu masih terpusat di Jawa. Hal ini sesuai dengan jumlah perusahaan gula dan pabrik - pabrik gula yang sebagian besar terletak di wilayah ini.
Analisis data pada Tabel 2, menunjukkan kontribusi produksi hablur di Jawa terhadap produksi nasional menunjukkan penurunan dari 77% (1994) menjadi 57% (1999), sedangkan luar Jawa meningkat dari 23% (1994) menjadi 43% (1999).
Jika pengelompokan dilakukan berdasarkan pabrik gula yang dikelola BUMN dan swasta, maka terjadi pergeseran kontribusi BUMN yang semula 74% (1994) menjadi 58% (2000), sedangkan swasta dari 26% (1994) menjadi 42% (2000) (Tabel 4).
Dari analisis data sederhana tersebut tampak bahwa pabrik gula yang dikelola swasta, memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan pabrik gula yang dikelola oleh BUMN dalam hal ini PTP Nusantara.
Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan ini adalah penguasaan areal yang berbeda. Pabrik gula swasta dengan areal Hak Guna Usaha (HGU) dan hamparan yang menyatu lebih mudah menerapkan berbagai aspek teknologi yang direkomendasikan.
Disamping itu ketersediaan modal yang mencukupi mendukung pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah kualitas sumberdaya manusia yang mengelola. Perusahaan swasta umumnya sudah menerapkan sistem “reward dan punishment” yang jelas bagi seluruh karyawannya.
Tabel 4. Produksi Gula Tebu menurut Pengelolaannya
Tahun | Produksi (ton) | |||||
BUMN | Swasta | |||||
1994 | 1.815.244 | 638.322 | ||||
1995 | 1.526.378 | 570.224 | ||||
1996 | 1.405.865 | 688.300 | ||||
1997 | 1.376.125 | 813.850 | ||||
1999 | 1.033.007 | 458.546 | ||||
2000 | 979.322 | 706.504 | ||||
Sumber : Bulog & Sekretariat Dewan Gula Nasional
Kondisi dan Parameter Makro Ekonomi
Dengan dibebaskannya tata niaga gula sejak awal 1998 maka harga gula ditentukan oleh mekanisme pasar. Dalam hal ini, mengingat Indonesia sebagai negara pengimpor gula, maka harga gula impor memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya harga gula di dalam negeri.
Sebagai contoh harga gula di dalam negeri yang melambung tinggi di tahun 1998 karena jatuhnya nilai rupiah terhadap Dolar US, merupakan wind fall bagi produsen gula (termasuk petani) meskipun produktivitas dan produksi gula tahun tersebut terpuruk ke titik nadir.
Besarnya impor gula Indonesia selama 5 tahun terakhir beserta negara asal disajikan pada Tabel 5. Dari data tersebut pada tahun 1995/1996 Indonesia yang menduduki posisi ke-9 negara - negara pengimpor gula terbesar di dunia bergeser menjadi pegimpor ke-6 pada tahun 1998/1999 (Deperindag, 2000). Pada Tabel 6 disajikan proporsi gula impor terhadap konsumsi gula dalam negeri dan besarnya nilai impor yang terjadi.
Tabel 5. Volume Impotir Gula menurut Negara Asal (ton)
Negara asal | 1995 | 1996 | 1997 | 1998 | 1999 |
Thailand | 8.500 | 58.900 | 322.365 | 457.519 | 447.272 |
Brazil | 12.812 | 68.805 | 38.150 | 71.000 | 355.457 |
Pakistan | 38.575 | - | - | 4.226 | 88.255 |
Australia | 19.577 | 38 | 223.921 | 103.137 | 73.773 |
RRC | 48.114 | 100.740 | - | 56.183 | 71.184 |
Arab Emirat | - | - | - | 4.217 | 68.389 |
Malaysia | - | - | 198 | 28.268 | 37.450 |
Vietnam | - | - | - | - | 17.000 |
Singapura | 1.266 | 204 | 187 | 8.002 | 8.232 |
Rep. Korea | 24.600 | - | - | 45.715 | 5.332 |
Inggris | - | - | - | 358 | 3.787 |
Jerman | 62.006 | - | - | 3.634 | - |
India | - | 181.507 | - | - | 1.376 |
Negara lainnya | 5.998 | 4.719 | 14.224 | 93.558 | 8.945 |
Total | 221.448 | 414.913 | 599.045 | 875.817 | 1.186.452 |
Sumber : BPS
Memasuki tahun 1999 harga gula internasional yang cenderung menurun mencapai 14 sen dollar AS/kg gula ditambah dengan menguatnya nilai rupiah terhadap USD, menyebabkan harga gula di dalam negeri merosot hingga di bawah rata-rata biaya produksi. Keadaan tersebut mengakibatkan timbulnya kebijakan ad hoc pemerintah berupa pemberian subsidi atas pembelian gula tani 1999.
Tabel 6. Nilai Impor Gula Indonesia
Tahun | Impor (ton) | % terhadap Konsumsi | Nilai(000 US $) |
1995 | 221.448 | 20,60 | 100.269 |
1996 | 414.913 | 31,79 | 175.374 |
1997 | 599.045 | 40,57 | 194.785 |
1998 | 875.817 | 63,40 | 319.138 |
1999 | 1.186.452 | 41,66 | 299.756 |
2000 *) | 1.400.000 | 46,66 | 526.315 |
Keterangan : *) = angka sementara
Sumber : BPS (diolah)
Surplus persediaan gula dunia sekarang ini telah mengakibatkan turunnya harga gula internasional tersebut. Pemerintah mengambil kebijakan melakukan pembelian gula dengan harga Rp. 2.500,- per kg untuk menyelamatkan gula petani. Disamping itu untuk melindungi gula dalam negeri Pemerintah melakukan kebijakan Tarif Bea Masuk Gula (Tabel 7)
Tabel 7. Bea Masuk dan PPN Impor 1950 s.d. Sekarang
No | Uraian | Tahun | ||||||
1950-1960 | 1960-1975 | 1976-1987 | 1987-1995 | 1995-1997 | 1998-1999 | 2000 | ||
1 | Kebijakan | Dikontrol Sebagian | Dikontrol Sebagian | Dikontrol Penuh | Dikontrol Penuh | Dikontrol Penuh | Bebas
| Bebas
|
2 | Bea Masuk (%) | 0 | 0 | 0 | 0 | 0 (10) | 0 | 20 - 25 |
3 | PPn Impor (%) | 10 | 10 | 10 | 10 | 10 | 10 | 10 |
4 | PPh Impor (%) | 2,5 | 2,5 | 2,5 | 2,5 | 2,5 | 2,5 | 2,5 |
5 | PPn Lokal | 10 | 10 | 10 | 10 | 10 | 10***) | 10 |
6 | Cukai Gula | 10 | 10 | 10 | 4 *) | 0 **) | 0 | 0 |
Catatan :
PPN lokal gula tani tahun 1998 bebas
(10) Tarif bea masuk impor gula tahun 1995 dibebaskan sesuai SK Menteri Keuangan Nomor 475a/ KMK/01/1995, tanggal 4 Oktober 1995
*) SK Menteri Keuangan Nomor 342/KMK
**) SK Menteri Keuangan Nomor 139/KMK.016/1995, tanggal 31 Maret 1995
***) untuk gula petani tahun 1998 dibebaskan
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Nasional (2000)
Perkembangan Industri Gula di Negara Lain
Saat ini keadaan pasar gula dunia memiliki surplus yang sangat besar, mendekati angka 65 juta ton pada tahun 1998/1999 dengan tambahan stok sebesar ± 5 juta ton per tahun. Sementara konsumsi gula tebu cenderung menurun di negara-negara maju. Pada tahun 1999 produsen utama gula dunia yaitu Brazil (14,6%), Uni Eropa (14,13%), India (12,87%), Cina (6,58%), USA (5,98%). Produksi gula negara produsen utama ini meunjukkan kecenderungan semakin meningkat dan Brazil adalah negara produsen utama yang sangat mempengaruhi kondisi pasar global dengan produksi mencapai 20 juta ton gula pada tahun 1999/2000.
Dalam menganalisis perkembangan dan kemungkinan yang akan terjadi pada pasar produk gula perlu dikenali beberapa isu relevan yang membentuk karakter dasar perkembangan. Isu tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu isu yang berpengaruh terhadap perkembangan jangka pendek atau siklikal dan isu yang berpengaruh terhadap jangka panjang atau struktural.
Isu siklikal adalah suatu keadaan yang selalu terulang pada waktu yang relatif singkat. Perubahan perkembangan siklikal dapat dilihat dari gerakan fluktuasi suatu variabel dalam jangka pendek (< lima periode), sedangkan perubahan perkembangan struktural kecenderungan gerakan suatu variabel dalam jangka panjang (biasanya lebih dari 10 periode). Matriks beberapa isu umum yang relevan dengan kondisi makro perkembangan gula dunia disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Matriks Beberapa Isu Umum yang Relevan dengan Perdagangan Gula Global dan Kemungkinan Dampaknya
Isu | Arah Perubahan Variabel Kunci | Dampak |
Semua negara berusaha untuk selalu meningkatkan produksi, ekstensifikasi maupun intensi-fikasi (satruktura) | Ø Kecenderungan produksi dunia selalu positif, dan lebih besar daripada kecenderungan konsumsi Ø Stok dunia cenderung membesar, beberapa produk lebih dari 50% dari total produksi | Ø Penawaran efektif cenderung meningkat Ø Harga dalam jangka panjang cenderung tertekan |
Asosiasi negara produsen jarang mencapai kesepakatan riil, menyeluruh (siklikal, struktural) | Manajemen penawaran yang diharapkan tidak pernah berhasil | Fluktuasi harga tetap tinggi |
Pengaruh alam signifikan (siklikal) | Produksi berkurang/bertambah secara signifikan dan tiab-tiba | Ø Penawaran menurun/meingkat secara tiba-tiba Ø Harga lebih berfluktuasi |
Penggunaan akhir komoditas berkembang, namun muncul bahan subsitusi (struktural) | Perkembangan konsumsi sangat lambat, pada umumnya hanya mengikuti perkembangan penduduk | Ø Perkembangan permintaan sangat lambat Ø Perkembangan harga relatif lambat, dan lebih banyak disebabkan oleh penawaran |
Leberalisasi perdagangan (struktural) | Tarif menurun, perubahan dari non tarif ke tarif | Ø Penawaran meningkat Ø Harga lebih stabil Ø Belum efektif |