Tebu dan Industri Gula Di Indonesia
Tebu dan Industri Gula Di Indonesia - Hasil tanaman tebu yang dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomi adalah batang tebu sebagai bahan pembuat gula dan pucuk daun tebu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Batang tanaman tebu dalam pengolahannya menjadi gula berlangsung dalam beberapa tahap. Pengolahan tebu menjadi gula dilakukan di pabrik dengan peralatan yang sebagian besar bekerja secara otomatis. Untuk menghasilkan gula pasir, pengolahan berlangsung dalam beberapa tahap, yaitu; ekstraksi nira, pemurnian nira, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal gula, dan proses penyelesaian.
Pengolahan tebu menjadi gula selain menghasilkan produk utama berupa gula pasir, juga memberikan hasil samping berupa pucuk daun tebu, ampas tebu (bagase), blotong (filter cake), dan tetes (molasse) yang dapat diubah menjadi produk-produk yang bermanfaat dan bernilai tinggi. Adanya pengolahan lebih lanjut dari hasil samping ini akan menambah usaha pabrik dan pendapatan petani. Batang tanaman tebu dalam pengolahannya menghasilkan dua macam produk, yaitu produk utama dan produk sampingan, seperti yang disajikan di bawah ini.
- Utama : gula pasir.
- Sampingan : tetes (molasses), ampas tebu (bagase) dan blotong (filter cake).
Diversifikasi Produk Melalui Industri Berbahan Baku Tebu dan Gula
Produk samping dari tebu selain menghasilkan gula pasir, juga memberikan hasil samping berupa.
Pucuk Daun Tebu.
Hasil samping ini diperoleh pada saat penebangan tebu, jumlahnya dapat mencapai 14% dari bobot tebu (Mubyarto dan Daryanti, 1991 dalam Hendrawati, 1997). Pucuk tebu dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi atau kerbau oleh petani pemilik ternak di sekitar pabrik gula. Namun akhir-akhir ini, pucuk tebu mulai diolah menjadi pakan untuk di ekspor.
Ampas Tebu (Bagase)
Ampas tebu merupakan hasil samping dari proses penggilingan (ekstraksi). Ampas tebu yang dihasilkan dari pabrik gula cukup besar, bisa mencapai 35 – 40% dari bobot tebu yang digiling. Jumlah yang begitu banyak, selama dimanfaatkan dan memberikan nilai tambah bagi pabrik, tentunya dengan perlakuan lebih lanjut. Umumnya, ampas tebu digunakan sebagai bahan bakar setelah melalui proses pengeringan. Selain itu, juga dimanfaatkan untuk bahan baku industri kertas yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi.
Blotong (Filter cake)
Blotong merupakan hasil samping dari proses pemurnian gula yang berbentuk endapan kotoran nira. Blotong adalah bahan yang banyak mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman tebu antara lain Ca, P, dan K. Secara luas blotong telah dimanfaatkan untuk pupuk tanaman tebu, terutama tanaman baru (replantry cane).
Tetes Tebu (Molases)
Hasil samping yang lain berupa tetes tebu (molasse) cukup potensial dan mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi karena masih mengandung gula sampai 50 – 60%, sejumlah asam amino dan mineral. Berdasarkan hal tersebut, tetes tebu mempunyai potensi besar untuk diversifikasi produk. Tetes tebu terutama digunakan sebagai bahan baku industri monosodium glutamat (MSG).
Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri alkohol, ragi, makanan ternak, dan potensial dikembangkan dalam pengolahan gula cair, ragi roti, asam sitrat, dan asam asetat. Hasil samping dari pengolahan alkohol berupa cairan yang disebut stillage merupakan bahan yang mengandung unsur Kalium dalam bentuk K2O sebesar ± 2% bahan segar. Dengan kandungan K ini maka stillage merupakan bahan pupuk organik yang potensial bagi tanaman tebu.
Peta Penyebaran Industri Gula Tebu
Secara umum, baik di pulau Jawa maupun luar Jawa, luas areal tebu selama beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Meskipun di luar Jawa terjadi peningkatan, namun penanaman tebu masih terpusat di pulau Jawa yaitu 62% dari luas total areal tanaman tebu di Indonesia.
Masalah pergulaan yang kompleks di lapangan ternyata cukup banyak, baik mengenai lahan cocok tanam yang semakin terbatas di pulau Jawa dan kendala permodalan bagi investasi baru di luar Jawa, disamping masalah lain di tingkat usahatani, agroindustri maupun distribusi. Sebagai contoh yang nyata di lapangan ialah kasus pabrik gula Pelaihari di Kalimantan Selatan, lokasi pabrik berada pada areal yang luasnya sesuai dan dengan topografi relatif datar.
Namun yang terjadi di lapangan adalah tingkat kesesuaian lahan yang sangat tidak ideal terutama dari pH tanah dan kesuburannya, akibatnya sejak dibangun sampai sekarang selalu merugi karena tingkat produksi yang sangat rendah. Contoh lain terjadi pada pabrik gula Naga Manis (sekarang PG Tolanguhula)di Sulawesi Utara. Masalah utama yang dihadapi ialah ketersediaan lahan yang kurang, yaitu hanya 6.000 ha dari rencana 20.000 ha. Sebagai akibatnya ialah pasokan bahan baku tidak memenuhi kapasitas giling.
Pasang surut industri pergulaan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu, telah membuat jumlah pabrik gula di Indonesia cenderung terus berfluktuasi dalam produksi. Fluktuasi tersebut mengakibatkan beberapa pabrik ditutup karena dianggap tidak efisien lagi (menggiling < 2.000 ton tebu per hari). Jumlah pabrik gula yang berlokasi di luar Jawa pada tahun 1994 hanya 10 buah dengan kapasitas giling tebu sekitar 42,4 ribu ton per hari dan kapasitas produksi gula sekitar 2,1 ribu ton per hari.
Namun, memasuki tahun 1995, jumlah pabrik gula tersebut telah bertambah menjadi 13 unit, dengan dioperasikannya unit PG Sweet Indo Lampung, Indo Lampung Perkasa, dan PG Naga Manis, sehingga total kapasitas giling tebu pabrik di luar Jawa menjadi 66,5 ribu ton per hari. Masuknya kedua pabrik tebu tersebut, membuat kapasitas produksi gula pabrik tebu di luar Jawa meningkat menjadi 4,0 ribu ton per hari yang berarti telah memberikan kontribusi sekitar 28,6% terhadap kapasitas produksi gula nasional.
Penyebaran pabrik gula sangat berkorelasi dengan penyebaran areal perkebunan tebu, bahkan menjadi unit terpadu, karena tebu sebagai bahan baku utama dan satu-satunya bahan baku bagi pabrik gula tersebut. Disisi lain sesuai dengan karakteristik tanaman tebu maka pabrik gula tidak dapat berjauhan dengan lokasi kebun tebunya, karena menunda masa giling akan mengakibatkan menurunnya rendemen tebu yang telah ditebang tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka sangat wajar jika pabrik gula di Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, karena daya dukung tanah dan iklim di pulau Jawa memang sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai sentra produksi tebu nasional.
Diantara berbagai propinsi di Indonesia Jawa Timur tercatat sebagai sentra produksi tebu di Indonesia, sehingga sangat relevan apabila propinsi ini memiliki jumlah pabrik gula yang lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya. Pada saat ini propinsi Jawa Timur memiliki 33 unit pabrik yang memiliki kapasitas giling tebu sekitar 89,0 ribu ton per hari, sehingga potensi menghasilkan gula di propinsi mencapai sekitar 6,3 ribu ton per hari.
Berdasarkan jumlah pabrik dan total kapasitas giling tebu yang dimilikinya propinsi Jawa Timur tersebut maka wilayah ini telah memberikan kontribusi 42,7% dari total kapasitas giling tebu nasional atau sekitar 45,6% dari total kapasitas produksi gula nasional. Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah menyusul kemudian dengan mengoperasikan sekitar 16 unit pabrik gula ternyata menempati posisi kedua setelah Jawa Timur, dengan kapasitas giling tebu sekitar 36,0 ribu ton per hari dan kapasitas produksi gula sekitar 2,5 ribu ton per hari. Dengan mengoperasikan 16 unit pabrik gula tersebut, maka Jawa Tengah memiliki kontribusi sekitar 17,3% dari total kapasitas giling tebu nasional dan sekitar 17,9% dari kapasitas produksi gula nasional.
Menurut pengelolanya, hingga saat ini tercatat 15 perusahaan yang bertindak sebagai produsen gula pasir di Indonesia, yang mengoperasikan 69 unit pabrik dengan kapasitas giling tebu sekitar 208,4 ribu ton per hari dan kapasitas produksi gula lebih dari 13,8 ribu ton per hari.
Berdasarkan status kepemilikannya, ternyata sebagian besar pabrik gula di Indonesia masih didominasi oleh Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN), yang menguasai sekitar 50 unit dari 69 unit pabrik gula yang ada di Indonesia. Sedangkan total kapasitas yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan milik Departemen Pertanian tersebut sebesar 63,6% dari total kapasitas giling tebu nasional dan sekitar 62,2% dari kapasitas produksi gula nasional.
Dari berbagai perusahaan tersebut terlihat bahwa perusahaan gula milik negara (BUMN) secara umum masih dominan dibandingkan dengan swasta. Selain dari segi jumlah, rata-rata juga memiliki jumlah pabrik yang cukup banyak. Kondisi ini nampaknya tidak lepas dari sejarah industri gula dalam negeri yang memang bermula dari perusahaan negara.
Tahun-tahun belakangan ini minat investor swasta dalam industri gula sudah mulai menampakkan hasilnya dengan bertambahnya jumlah pabrik gula swasta di beberapa propinsi luar Jawa. Untuk mengetahui lebih lengkapnya tentang perusahaan dan pabrik gula serta kapasitasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Pabrik Gula di Indonesia dan Kapasitas Giling
Pengelola | Pabrik Gula | Lokasi | Areal (ha) | Kapasitas Giling (ton tebu/hari) |
PTPN II | Sei Semayang | Sumut | 6.803 | 4.215 |
| Kuala Madu | Sumut | 6.895 | 4.180 |
PTPN VII | Cintamanis | Lampung | 10.360 | 4.734 |
| Bunga Mayang | Lampung | 12.452 | 5.479 |
PTPN IX | Banjaratna **) | Jateng | 2.465 | 1.550 |
| Jatibarang | Jateng | 2.646 | 1.869 |
| Pangka | Jateng | 2.663 | 1.820 |
| Sumberharjo | Jateng | 2.911 | 2.051 |
| Sragi | Jateng | 4.936 | 3.155 |
| Cepiring **) | Jateng | 2.272 | 2.082 |
| Rendeng | Jateng | 6.102 | 2.492 |
| Mojo | Jateng | 4.934 | 2.692 |
| Tasikmadu | Jateng | 5.968 | 3.473 |
| Colomadu **) | Jateng | 1.561 | 1.224 |
| Ceperbaru **) | Jateng | 2.451 | 1.325 |
| Gondangbaru | Jateng | 2.219 | 1.527 |
| Kalibagor *) | Jateng | 1.870 | 1.179 |
PTPN X | Krian **) | Jatim | 1.981 | 1.224 |
| Watutulis | Jatim | 3.885 | 2.135 |
| Tulangan | Jatim | 2.361 | 1.436 |
| Krembung | Jatim | 2.977 | 1.593 |
| Gempolkrep | Jatim | 11.355 | 5.194 |
| Jombang Baru | Jatim | 3.999 | 2.145 |
| Cukir | Jatim | 4.875 | 2.510 |
| Lestari | Jatim | 6.471 | 3.547 |
| Merican | Jatim | 4.447 | 2.466 |
| Pesantren Baru | Jatim | 10.441 | 5.434 |
| Ngadirejo | Jatim | 9.275 | 5.443 |
| Mojopanggung | Jatim | 4.429 | 2.474 |
PTPN XI | Kedawung | Jatim | 5.739 | 3.165 |
| Wonolangan | Jatim | 2.005 | 1.238 |
| Gending | Jatim | 2.404 | 1.448 |
| Pajarakan | Jatim | 1.868 | 1.257 |
| Jatiroto | Jatim | 11.922 | 6.106 |
| Semboro | Jatim | 9.399 | 5.223 |
| Wringinanom | Jatim | 1.972 | 1.183 |
| De Maas ***) | Jatim | 1.166 | 912 |
| Panji | Jatim | 2.848 | 1.871 |
| Asembagus | Jatim | 4.823 | 2.500 |
| Prajekan | Jatim | 6.428 | 2.930 |
| Olean | Jatim | 1.350 | 1.086 |
| Sudono | Jatim | 4.102 | 2.434 |
| Purwodadi | Jatim | 3.602 | 2.145 |
| Rejosari | Jatim | 4.000 | 2.102 |
| Pagotan | Jatim | 3.300 | 1.749 |
| Kanigoro | Jatim | 3.000 | 1.970 |
PTPN XIII | Pelaihari | Kalsel | 6.887 | 4.635 |
Lanjutan Tabel 9.
PTPN XIV | Bone | Sulsel | 4.500 | 2.192 |
| Camming | Sulsel | 5.300 | 2.776 |
| Takalar | Sulsel | 6.750 | 3.011 |
PT. Trigunabina | Kebon Agung | Jatim | 9.247 | 3.640 |
| Trangkil | Jateng | 6.401 | 3.014 |
PT. Candi | Candi | Jatim | 3.692 | 1.823 |
PT. Rajawali N. | Rejoagung Baru | Jatim | 7.611 | 4.808 |
| Krebet Baru | Jatim | 14.900 | 3.827 |
| Madukismo | Yogya | 5.686 | 3.217 |
PT. Rajawali II | Kadhipaten ***) | Jabar | 1.414 | 1.208 |
| Jatiwangi **) | Jabar | 793 | 1.095 |
| Gempol *) | Jabar | 1.500 | 1.138 |
| Sindang Laut | Jabar | 3.184 | 1.892 |
| Karang Suwung | Jabar | 2.178 | 1.309 |
| Tersana Baru | Jabar | 3.008 | 3.175 |
| Jatitujuh | Jabar | 8.312 | 4.160 |
| Subang | Jabar | 5.251 | 2.899 |
| Tulanguhula | Sulut | 6.000 | 7.625 |
PT. Bapippundip | Pakis Baru **) | Jateng | 6.536 | 3.315 |
PT. Gunung Madu Plantation | Gunung Madu | Lampung | 22.630 | 12.000 |
PT. Gula Putih Mataram | Gula Putih Mataram | Lampung | 21.275 | 12.000 |
| Sweet Indo Lampung | Lampung | 24.800 | 10.000 |
| Indo Lampung Perkasa | Lampung | 18.000 | 10.000 |
Keterangan : *) Ditutup tahun 1995
**) Ditutup tahun 1998
***) Ditutup tahun 2000
Sumber : Sekretarist Dewan Gula Nasional, 2001